Senin, 20 April 2015

Kisah Seru Muslimah Traveler

Judul: The Jilbab Traveler
Penulis: Asma Nadia, dkk
Penerbit: Asma Nadia Publishing House
Terbitan: Kelima, Agustus 2014
Tebal: 330 halaman
ISBN: 978-602-9055-13-9
Dimuat di: Malang Post, 28 Februari 2015

Ada yang beranggapan, sangat menderita menjadi seorang muslimah karena gerak geriknya terbatas, hanya terkungkung di dalam rumah. Perempuan Islam dikatakan tak mendapatkan perlakuan yang sama dengan laki-laki. Kiprahnya hanya di sektor domistik.

Namun, anggapan tersebut tak sepenuhnya benar. Setidaknya 16 muslimah telah membuktikan bahwa aurat dari ujung kepala hingga mata kaki bukan penghalang untuk keliling dunia. Bahkan, mereka mampu mempertahankan jilbabnya sekalipun di negara minoritas.

Tapi bukan tanpa tantangan mempertahankan identitas muslimah di negara minoritas muslim, seperti yang dialami De Veha di Canberra, Australia. Ia merasa dimata-matai petugas keamanan saat belanja di mall hanya karena memakai jilbab (hlm. 201). Traveler muslimah yang lain merasakan pemeriksaan lebih berbelit-belit di keimigrasian.

Demikian juga banyak reaksi dari wisatawan saat melihat kemunculan Tria Barmawi berpakaian serba tertutup dari atas sampai bawah saat menikmati keindahan pantai di Republik Dominika, Kepulauan Karibia. Penampilan Tria sangat mencolok karena para turis berbusana terbuka. Bahkan banyak wisatawan wanita yang berenang dan berjemur dalam keadaan topless. Namun, model pakaian Tria mendapat sanjungan dan decak kagum dari seorang pemilik toko di objek wisata tersebut. Tria diajak mampir ke tokonya oleh istri si pemilik toko, dan mengamati dari ujung kepala sampai ujung kaki. Dia mengira pakaian muslimah baju model baru, dan mengaku tertarik untuk membelinya (hlm. 14).

Tak semua muslimah yang pernah tinggal di negara minoritas muslim mengalami diskriminasi. Deby Haryanti Dewi, misalnya, yang mengikuti suaminya menyelesaikan studi S-3 di Belanda. Katanya, muslimah berjilbab di Belanda jauh lebih modis daripada jilbaber di Jerman (hlm. 33).

Demikian juga dengan di Yunani. Tidak ada masalah buat muslimah yang berjilbab, karena orang Yunani sudah terbiasa melihat banyak orang Arab yang berimigrasi dan pakaian serupa juga dikenakan para biarawati (hlm. 111). Apalagi di Timur Tengah, seperti di Suriah, sekalipun jilbab bukan kewajiban (hlm. 47).

Selain masalah pakaian, yang menjadi kendala muslimah traveler adalah tempat ibadah. Dede Mariyah sangat merasakan hal itu di Amerika. Karena jumlah masjid sangat terbatas dan tak ada azan, ada beberapa tempat yang bisa ditempati sholat, seperti taman kota, lobi ruang gedung, fitting room, bahkan pinggir jalan dan tempat parkir (hlm. 107).

Setali tiga uang juga dirasakan Hartati Nurwijaya di Yunani. Di negeri para filosof itu, tempat ibadah bagi kaum muslim cukup langka. Bahkan, di Bandara Internetnasional El Benizelos pun tak disediakan tempat untuk sholat. Biasanya, pendatang muslim melakukan sholat di ruang tunggu bandara (hlm. 110).

Permasalahan lain yang sering dihadapi orang Islam yang berada di negara minoritas yaitu makanan. Di Yunani, misalnya, tidak ada sertifikat halal yang tertera di label makanan apa pun. Hartati mengaku kesulitan mencari makanan halal, karena dewan dipotong tanpa mengindahkan syariat (hlm. 113). Demikian juga dengan pengalaman Asma Nadia di Korea (hlm. 74).

Tidak demikian dengan di Jerman. Beby Haryanti Dewi mengaku sangat mudah menjumpai bistro-bistro orang Timur Tengah yang baik untuk orang Islam. Namun tetap harus hati-hati dengan bistro milik orang Yahudi, sebab sering menjual kebab dari daging babi (hlm. 132).

Demikian juga dengan di Skotlandia. Kata Siwi Mars Wijayanti, toko bahan makanan halal hampir ada di setiap kota (hlm. 162). Di Paris, tutur Rosita Sihombing, komunitas muslim dan makanan halal bertebaran di beberapa titik (hlm. 171).

Sebanyak 18 bab dalam buku The Jilbab Traveler, selain berkisah pengalaman manis mengunjungi objek wisata di luar negeri, juga pengalaman pahit, terutama dengan posisinya sebagai muslimah, seperti memiliki makanan dan tempat ibadah.

Karena pengalaman adalah guru terbaik, penyuka jalan-jalan dan orang yang hendak mengunjungi negara-negara tersebut perlu membaca buku setebal 330 halaman itu. Sehingga, pengalaman pahit 16 penulis tak perlu terulang lagi. Cukup mereka mengecap pahit di negeri orang.

Sangat tidak lucu mengalami peristiwa memalukan seperti yang dialami bokap dan oma teman Beby Haryanti Dewi di Jerman. Akibat yang banyak memiliki wawasan tentang Jerman dan budaya masyarakatnya, mereka harus menderita dan menjadi perhatian banyak pasangan mata akibat tingkah anehnya.

Asma Nadia dengan dibantu Sitaresmi Sidharta memberikan beberapa tips pada tiap bagian akhir bab. Dilengkapi pula dengan kamus obrolan bahasa negara setempat yang biasa dipakai seperti menyapa, menanyakan nama dan suatu tempat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar