Rabu, 10 Juni 2015

Merenung yang Produktif

Judul : Tafakur Sesaat Lebih Baik daripada Ibadah Setahun
Penulis : Imam Ghazali
Penerjemah : KH. R. Abdullah bin Nuh
Penerbit: Mizan, Bandung
Tebal : 155 halaman
Terbitan : Pertama, April 2015
ISBN : 978-602-0989-36-5
Dimuat di: Harian Bhirawa

Akal menempati posisi tinggi dalam Islam. Agama Islam hanya diperuntukkan kepada orang yang menggunakan akalnya dengan baik. Orang gila tidak dikenakan kewajiban melaksanakan perintah maupun menjauhi larangan ajaran agama Islam.

Kedudukan special akal dalam Islam dikuatkan dengan bertebarannya ayat Al Qur’an tentang seruan menggunakan akal. Misalnya, kata ta’qilun dalam Al Qur’an diulang sebanyak 24 kali dan ya’qilun 22 kali. Kata tatafakkarun diulang tiga kali dan yatafakkarun diulang sebanyak 91 kali.

Allah telah menganugerahkan peranti akal berupa otak pada manusia. Sekalipun hewan juga dianugerahi otak, namun karena tak memiliki akal pikiran, tak dibebani aktivitas yang membutuhkan pemikiran. Akal pikiran ini pula yang membedakan dan menjadi penyebab manusia unggul dari binatang lainnya.

Anugerah agung dari Allah tersebut jangan disia-siakan. Gunakan akal untuk berpikir dan merenung sesuatu yang positif-konstruktif bukan negatif-destruktif. Berpikir dan merenung yang baik adalah berpikir dan merenung sesuatu yang dapat meningkatkan kualitas diri, bukan sebaliknya.

Jika otak digunakan untuk berpikir dan merenung sesuatu yang negatif, dampaknya dapat menurunkan kemampuan otak memecahkan masalah. Sementara sebuah penelitian menunjukkan rendahnya kemampuan memecahkan masalah dalam hubungan personal membuat orang lebih rentan depresi (detik.com).

Imam Ghazali menuntun cara berpikir dan merenung yang dapat meningkatkan kualitas diri, aktivitas sesaat namun lebih baik daripada ibadah setahun, dan dampaknya lebih membekas daripada mengingat-ingat (zikir), yaitu mentadaburi kekuasaan dan kesempurnaan Allah melalui ciptaan-Nya.

Cara paling efektif yang pertama kali bisa dilakukan dengan tafakur tentang sifat dan tindakan diri sendiri. Tafakur tingkat dasar ini bertujuan untuk koreksi diri, sehingga virus (dosa) yang terdapat dalam jiwa mudah terdeteksi dan dapat dibasmi sedini mungkin.


Kaitannya dengan ini, tafakur diarahkan kepada tiga pertimbangan: Pertama, dibencikah ia oleh Allah atau tidak. Kedua, jika ternyata perbuatan itu dibenci Allah, bagaimana mencari jalan menghindarinya. Ketiga, jika sudah terlanjur dikerjakan segeralah bertobat dan tidak mengulangi (hlm. 16).

Selanjutnya tafakur tentang kebesaran Allah melalui ciptaan-Nya. Tafakur tingkat tinggi ini menyadarkan posisi manusia sebagai hamba dan Allah sebagai Gusti. Dengan tafakur ini, manusia akan senantiasa taat, sabar, bersyukur, tidak sombong, kikir, korupsi, munafik, durhaka, dan maksiat karena sadar akan posisinya.

Dari dirinya manusia mestinya mengambil pelajaran agar tidak sombong. Manusia diciptakan dari setetes air mani (nutfah), lalu menjadi segumpal darah (mudhghah), dan pada akhirnya berubah menjadi segumpal daging. Lalu apa yang hendak disombongkan padahal andaikata setetes air menjijikkan yang menjadi manusia dibiarkan sebentar di udara terbuka, pastilah ia akan berubah dan berbau busuk (hlm. 43).

Jika manusia tahu dan sadar akan kesempurnaan penciptaan dirinya, pastilah dari mulutnya selalu keluar ucapan syukur, bukan selalu mengeluh karena merasa selalu kurang dan tidak puas. Kuku yang tampaknya tidak penting, misalnya, kalau ia ditiadakan bingunglah manusia bila sudah merasa gatal (hlm. 53).

Demikian juga manusia tidak akan melakukan perusahaan lingkungan (illegal logging) jika sadar bahwa benda-benda berharga di perut bumi bukan untuk dirusak, tapi sebagai penyeimbang, keindahan, dan media tadabur manusia akan kekuatan dan kehebatan Gustinya.

Buku Tafakur Sesaat Lebih Baik daripada Ibadah Setahun membuat pembaca selalu berucap syukur alhamdulilah. Penyajiannya seakan berhadapan dan menyimak langsung dari lisan Imam Ghazali. Bahasanya sederhana namun cukup detail menenungkan penciptaan manusia, bumi beserta isinya, dan langit beserta isinya.

Buku percikan Ihya Ulum Al-din sangat membantu pembaca memahami pemikiran Imam Ghazali, khususnya pembaca yang kesulitan memamahani naskah aslinya yang berbahasa Arab. Jika semua isi buku setebal 155 halaman tersebut diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, pembaca dapat sampai ke tingkat golongan malaikat atau dapat digolongkan ke dalam rombongan para nabi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar