Selasa, 08 September 2015

Jalan Terjal Para Mualaf

Judul: Mualaf: Kisah Para Penjemput Hidayah
Penulis: Steven Indra Wibowo
Penerbit: Tinta Medina, Solo
Terbitan: Pertama, April 2015
Tebal: XII+148 halaman
ISBN: 978-979-045-801-7
Dimuat di: Kabar Madura, 1 September 2015

Faktor keislaman para mualaf yang dikisahkan dalam buku Mualaf: Kisah Para Penjemput Hidayah karena menemukan sejuknya ajaran Islam. Mereka ingin hidup tenang dan damai sebagaimana kehidupan umat Islam yang mereka lihat. Namun setelah mengikrarkan dua kalimat syahadat sebagai tanda keislamannya, ketentraman tak sepenuhnya terbit terang.

Keislaman para mualaf, utamanya yang telah menjadi elite agama, kerap mendapat pertentangan, baik dari orangtua, keluarga, dan pengikutnya. Bahkan, ancaman, intimidasi, dan kekerasan fisik maupun psikis kerap menimpanya akibat rasa kecewa luar biasa karena dinilai telah melecehkan agama yang ditinggalkan.

Steven Indra Wibowo, misalnya. Mantan penginjil itu ditampar ayahnya hingga kepalanya terbentur kaca. Akibatnya, ia harus mendapatkan tujuh jahitan di bagian dahinya di Rumah Sakit Atmajaya. Selain itu, sang ayah tega mengusir Steven setelah dipaksa harus menandatangi surat pernyataan di hadapan notaris tentang pelepasan haknya sebagai salah satu pewaris dalam keluarganya (hlm. 7).

Pengalaman lebih tragis menimpa Ahmad Dzulkifli Mandey. Mantan pendeta tersebut nyaris mati. Ada sekelompok pemuda gereja di Tanjung Priok yang bertekad menghabisi nyawanya karena dianggapnya telah murtad dan mempermalukan gereja.

Prajurit TNI-AD tersebut juga menghadapi persoalan yang mengangkut tugasnya di TNI-AD. Dewan Gereja Indonesia mengirim surat ke Bintal TNI-AD meminta agar ia dipecat dari kedinasan di jajaran TNI dan agar mempertanggungjawabkan perbuatannya itu di hadapan majelis gereja (hlm. 23).

Hidup susah setelah memeluk Islam juga dialami Abdullah Anas. Pria berusaha 19 tahun yang dibesarkan di Medan dalam keluarga Kristen Protestan. Putra pendeta itu dipaksa harus angkat kaki dari rumahnya tanpa membawa barang-barang yang orangtuanya berikan (hlm. 67).

Ia harus keluar dari zona nyaman demi mempertahankan keyakinan. Anas harus tidur di pinggir toko, tanpa alas dan selimut. Hidupnya berpindah-pindah hingga berbulan-bulan. Untuk mempertahankan kehidupannya, ia sempat bekerja menjadi kuli panggul di pasar (hlm. 68-89).

Berbeda dengan Silvia Lenteri, gadis keturunan Berawi-China yang terlahir dari keluarga penganut Buddha. Keislamannya tak mendapat persoalan berarti dari keluarganya, namun dilema tak sirna dari benaknya. Pasalnya, Silvia kesulitan menjauh dari keempat ekor anjing peliharaannya. Dalam Islam, anjing tidak boleh disentuh karena termasuk hewan najis berat (hlm. 52).

Namun, hidayah Allah yang begitu kuat tak mengoyahkan keimanannya. Mereka rela kehilangan harta, tahta, pekerjaan, bahkan diintimidasi demi mempertahankan sesuatu yang diyakini. Sekalipun mereka tergolong orang baru, umat Islam tak salah belajar dari mereka dalam mempertahankan keimanan saat dalam situasi sulit.

Buku kisah nyata tersebut sangat penting menjadi pengokoh iman di tengah tergerusnya keyakinan ditukar dengan sesuatu yang bersifat duniawi dan sementara. Bahasanya sederhana namun sangat menyentuh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar