Selasa, 22 September 2015

Kerancuan Ajaran Wahabi

Judul: Sejarah Wahabi & Salafi
Penulis: Khaled Abou El Fadl
Penerbit: Serambi
Terbitan: Pertama, Februari 2015
Tebal: 142 halaman
ISBN: 978-602-290-019-1
Dimuat di: Kabar Madura, 16 September 2015

Wahabi adalah gerakan keagamaan Islam yang dikembangkan oleh seorang teolog muslim abad ke-18, yaitu Muhammad ibn Abdul Wahab (w. 1206 H./1792 M.). Gerakan ini mengundang perhatian banyak negara muslim karena metode dakwahnya ekstrem dan ajarannya rancu.

Ciri Wahabi memperlihatkan kebencian yang luar biasa terhadap semua bentuk intelektualisme, mistitisme, dan sektarianisme di dalam Islam, dengan memandang semua itu sebagai inovasi yang menyimpang yang telah masuk ke dalam Islam karena adanya pengaruh-pengaruh dari luar Islam (hlm. 9).

Ibn Abdul Wahab meyakini, ajaran tasawuf, doktrin perantara (tawasul), rasionalisme, ajaran Syiah, serta banyak praktik lain merusak Islam. Dan perusak Islam (baca: pelaku bidah) halal darahnya dengan mengacu pada kejadian ketika Abu Bakar membakar orang-orang munafik hingga mati. Argumen ini yang digunakan bahwa para pendukungnya dibenarkan menyiksa lawan-lawan mereka (hlm. 23).

Ia mengajak kembali kepada sumber primer Islam, yaitu Al Qur'an dan hadits. Namun di balik jargon dan cita-cita kembali pada Al Qur'an dan hadits, ajaran Wahabi pada tataran praktis rancu. Inkonsistensi ideologis tersebut hingga saat ini belum bisa didamaikan atau dipecahkan.

Pertama, semangat Ibn Abdul Wahab menjaga kemurnian Islam dari praktik budaya luar yang dinilai telah mencemari Islam, justru terjebak pada budaya Arab --lebih tepatnya, budaya Badui Arab. Yaitu, daerah di wilayah Najd di negara Saudi. Ia telah membuat blunder antara budaya Arab dengan ajaran Islam yang universal (hlm. 20).

Menurut Khaled Abou El Fadl, pada abad 18 saat Wahabi mulai diperkenalkan, Najd termasuk wilayah paling tribal, kurang berkembang, dan dihuni oleh kelompok masyarakat yang kurang beragam. Budaya masyarakat setempat yang diagung-agungkan Ibn Abdul Wahab dan diklaim sebagai ajaran Islam yang murni (hlm. 34).

Kedua, Ibn Abdul Wahab menolak tunduk pada mazhab pemikiran yurisprudensi yang sudah mapan. Hal itu dinilai sebagai perbuatan bidah. Namun, Ibn Abdul Wahab pada akhirnya menegaskan bahkan memerintah taqlid dalam bentuk yang berbeda.

Kata Abou El Fadl, Wahabi melarang praktik taqlid sejauh terkait dengan ahli hukum yang tidak disukainya, namun memerintahkan umat Islam mengikuti pemikiran Wahabi secara buta dan tidak kritis (hlm. 29).

Ketiga, Ibn Abdul Wahab sangat fanatik membenci kaum nonmuslim. Ia menegaskan bahwa umat Islam harus tidak bersahabat, menjalin aliansi, atau meniru kaum non muslim atau kaum muslim pelaku bidah (hlm. 15).

Namun pada sisi yang lain, Wahabi menjali aliansi dengan dengan Kerajaan Arab Saudi dan Inggris dalam memerangi Turki untuk mengubah wajah Semenanjung Arab (hlm. 37).

Buku Sejarah Wahabi & Salafi penting dibaca, khususnya kaum nahdliyin. Dalam konteks Indonesia, gerakan Wahabi di Arab Saudi melahirkan berdirinya Nahdlatul Ulama pada 31 Januari 1926.

Khaled Abou El Fadl cukup menguasai sejarah dan perkembangan Wahabi. Dari buku terbitan Serambi setebal 142 halaman itu pembaca bisa mewaspadai gerakan Wahabi masa kini yang telah merasuk di segala lini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar