Minggu, 11 Oktober 2015

Spiritual sebagai Solusi Krisis Kemanusiaan


Judul: Gus Dur: Mengarungi Jagat Spiritual Sang Guru Bangsa
Penulis: Dr. Abdul Wahid Hasan 
Penerbit: IRCiSoD, Yogyakarta 
Terbitan: Pertama, Agustus 2015 
Tebal: 252 halaman 
ISBN: 978-602-255-956-6

Judul: Seyyed Hossein Nasr 
Penulis: Dr. Ach. Maimun, M.Ag 
Penerbit: IRCiSoD, Yogyakarta 
Terbitan: Pertama, Agustus 2015 
Tebal: 300 halaman 
ISBN : 978-602-255-955-9

Dimuat di: Koran Sindo,11 Oktober 2015

Berbagai upaya dan pendekatan telah ditempuh untuk mengatasi krisis multidimensional yang melanda dunia secara umum dan Indonesia secara khusus. Namun, belum tampak memberikan solusi nyata. Terakhir, melalui pendekatan spiritual sebagai jalan keluar atas krisis kemanusiaan dan alam.

Para tokoh menuding tragedi kemanusiaan dan alam akibat krisis spiritual dalam hati manusia. Kata Abdul Wahid Hasan, spiritualitas adalah pusat kendali semua gerak anggota tubuh manusia. Jika ia baik maka gerak dan aktivitas anggota tubuh lain baik pula. Namun jika sebaliknya, gerak dan aktivitas anggota tubuh lain juga jelek (Gus Dur , hlm. 21).

Orang yang memiliki spiritualitas tinggi diyakini tak akan tega menyakiti manusia dan merusak alam karena spirit agama adalah penyebaran cinta dan kasih sayang kepada makhluk Tuhan yang lain. Manusia spiritual tak akan sempat menyakiti orang lain karena mencintai, mengayomi, dan memberdayakan manusia adalah sebentuk pengabdian kepada Tuhan, seperti yang dilakukan Gus Dur semasa hidupnya.

Kedalaman spiritual KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur mengantarkannya menjadi sosok yang humanis, yaitu individu yang meletakkan kemanusiaan sebagai tujuan inti dalam setiap gerakan dan perjuangannya.

Baginya, menjunjung tinggi martabat manusia bagian dari upaya meninggikan martabat agama (Gus Dur, hlm. 144-145).

Spritual humanis Gus Dur ini didasarkan pada teladan yang Tuhan contohkan. Karena Tuhan menghormati kemanusiaan, Gus Dur berusaha menjadikan agama dekat dengan kemanusiaan melalui pelayanan-pelayanan yang diberikan tanpa memandang kelas, ras, agama, atau golongan (Gus Dur, hlm. 146).

Kesibukan Gus Dur mencintai, mengayomi, dan memberdayakan semua orang hingga tak ada ruang di hatinya untuk menaruh benci pada orang lain, sekalipun secara manusiawi, pribadi, dan islami, bisa saja merasa jengkel dan marah. Pembelaan Gus Dur pada orang-orang kontroversial tampaknya karena di hatinya sudah diliputi kasih dan sayang.

Kaitannya dengan masih maraknya aksi-aksi anarkistis berbasis SARA di Indonesia, tampaknya karena negeri ini tak banyak dihuni manusia-manusia spiritual. Indonesia hanya dihuni manusia religi yang, kata Stephen Bigger, masih mungkin tampil menjadi orang yang zalim dan tak beretika (Gus Dur, hlm. 23).

Ramah Lingkungan
Demikian juga dalam memperlakukan alam, orang yang telah mencapai titik pusat spiritual akan bersikap ramah terhadap lingkungan. Sebagaimana diyakini Seyyed Hossein Nasr, karena alam bukan realitas tunggal, melainkan satu aspek dari realitas secara keseluruhan (Seyyed Hossein Nasr, hlm. 122).

Pemahaman ini berasal dari keyakinan bahwa realitas kosmik pada eksistensinya merupakan teofani (pancaran, perwujudan, atau manifestasi) dari Tuhan. Dengan demikian, seluruh benda di jagat raya perlu dirawat karena merupakan simbol yang bisa menjadi bahan kontemplasi (Seyyed Hossein Nasr, hlm. 123-124).

Hal ini sesuai dengan tujuan Tuhan menciptakan alam untuk dibaca oleh manusia, bukan dieksploitasi secara berlebihan, sehingga bisa mentransedensikan diri menuju Tuhan. Menurut Nasr, dengan ini manusia akan mendapat kebijaksanaan sebagai pengetahuan tertinggi dan dapat memosisikan diri dalam realitas kosmik sebagaimana mestinya (Seyyed Hossein Nasr, hlm. 125).

Dua buku dosen Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (Instika) Sumenep ini yang diadaptasi dari disertasi doktoralnya mengkaji spiritualitas Gus Dur melalui pemikiran dan sepak terjangnya, dan pemikiran kosmologi Seyyed Hossein Nasr yang sangat dipengaruhi oleh kedalaman spiritualitasnya.

Gagasan-gagasan Gus Dur dan Seyyed Hossein Nasr sangat berguna untuk mengatasi krisis kemanusiaan dan alam. Dr. Abdul Wahid Hasan mampu mengurai tema spiritualitas yang abstrak secara sederhana namun mendalam. Sedangkan, Dr Ach Maimun sangat kaya wawasan dalam menjelaskan pemikiran kosmologi Nasr, namun dengan bahasa sedikit rumit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar