Rabu, 11 November 2015

Gusti Noeroel Teguh Tidak Mau Dimadu

Judul : Gusti Noeroel Streven Naar Geluk
Penulis : Ully Hermono
Penerbit : Kompas
Terbit : 2014
Tebal : XII+284 halaman
ISBN : 978-979-709-812-4
Dimuat di: Koran Jakarta 12 Juni 2014

Tak banyak publik yang mengenal Gusti Noeroel, tak seperti RA Kartini. Memang dedikasinya tak seberapa dibanding Kartini. Namanya tak ada dalam teks buku pelajaran sejarah. Noeroel banyak menyedot perhatian kaum Adam.

Kecantikannya menggetarkan hati banyak pria terhormat, di antaranya Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Sutan Sjahrir, dan kabarnya juga Soekarno. Siapa sebenarnya sosok perempuan yang pernah bersemayam di hati laki-laki hebat tersebut? Pemilik nama lengkap Gusti Raden Ajeng Siti Noeroel Kamaril Ngasarati Koesoemawardhani ini salah satu putri Pura Mangkunagaran, Solo.

Gusti Noeroel, demikian akrab dipanggil di lingkungan Pura, satu-satunya buah hati Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo Mangkoenagoro VII dengan permaisuri (garwa padmi) Gusti Kanjeng Ratu Timoer. Lahir pada Sabtu legi, 17 September 1921.

Lahir dan besar di lingkungan istana yang kental dengan adat istiadat Jawa tak membuat Gusti Noeroel terkungkung. Dalam busana, dia tak hanya memakai kain dan kebaya, tapi juga akrab dengan celana panjang, rok pendek, dan blus. Sekalipun istilah kesetaraan gender belum terdengar, Gusti Noeroel sejak kecil sudah biasa olah raga berkuda dan bermain tenis.

Dalam memilih pasangan hidup, Gusti Noeroel mendobrak tembok tradisi pura berupa poligami. Dia enggan dipermaisuri raja karena tak ingin seperti ibunya, yang kebahagiaannya sedikit terampas kehadiran selir-selir Mangkoenagoro VII. Dia menolak dimadu.

"Nduk, mugo-mugo suk kowe ojo dimadu," kata Gusti Timoer yang selalu dipegang (Nak, mudahan-mudahan nanti kamu jangan dimadu). Gusti Noeroel bertekad bila berumah tangga tidak akan pernah mau dimadu (hal 32-33). Hingga menikah dengan Raden Mas Soerjosoerarso (Letkol TNI AD), dia benar-benar menepati janji.

Sebelumnya, Gusti Noeroel sempat ingin disunting Sri Sultan Hamengku Buwono IX serta pangeran dari Karaton Surakarta. Namun, dia selalu menolak karena tak mau dimadu. "Aku takut tidak bisa tidur karena dimadu," kata Gusti Noeroel kepada Sultan saat ditanya alasan penolakan (hal 158).

Gusti Noeroel juga tak mungkin minta Sultan menceraikan garwa ampil-nya karena akan menyakiti perempuan lain. Bagaimanapun mereka juga kaumnya. Wanita mana yang mau diceraikan begitu saja karena suami akan menikah lagi? Gusti Noeroel menyadari itu.

Diam-diam juga ada pria lain mendekati Gusti Noeroel. Dia bukan dari bangsawan Jawa, yaitu Sutan Sjahrir. Setiap rapat kabinet digelar di Yogyakarta, dia selalu mengutus sekretaris pribadinya ke Pura Mangkunagaran khusus mengantarkan hadiah yang dibeli di Jakarta.

"Aku tak lagi ingat apa saja yang pernah dibicarakan dengan Sjahrir, tapi aku masih ingat Sjahrir pernah membelai pipi dan daguku. Aku diam saja," kenang Gusti Noeroel. Namun, hubungannya kandas karena masalah partai. Sebagai tokoh Partai Sosialis Indonesia, Sjahrir tak mungkin menikah dengan putri bangsawan yang dianggap feodal (hal 160).

Kabarnya, Bung Karno juga menaruh bersimpati, sekalipun tak pernah mengatakan langsung dan hanya mendengar dari Bu Hartini, istrinya. Setelah Gusti Noeroel menikah, Bung Karno hanya selalu mengatakan, "Aku kalah cepat dengan suamimu" (hal 160).

Namun kedekatan keduanya sangat erat. Saat revolusi selesai, Bung Karno mengundangnya ke Istana Cipanas. Di kamar kerja presiden di Istana Cipanas terpasang lukisan Gusti Noeroel yang dibuat Basuki Abdullah.

Itulah sebagian kecil perjalanan hidup Gusti Noeroel yang mencicipi kepemimpinan Presiden Soekarno hingga Susilo Bambang Yudhoyono. Dengan gaya bertutur langsung, seolah Gusti Noeroel menyampaikan sendiri pemikiran, pengalaman, dan pilihan hidupnya. Buku juga menyajikan foto-foto di tiap alur cerita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar