Senin, 04 April 2016

Habis Sedih Terbitlah Bahagia

Judul : Bersedihlah Saat Hidup Begitu Jauh dari Allah
Penulis : Syafaat Selamet
Penerbit : Mizania
Terbitan : Pertama, Desember 2015
Tebal : 210 halaman
ISBN : 978-602-1337-77-6
 Dimuat di: Tribun Timur, 27 Maret 2016

Manusia cenderung bersedih saat mendapat musibah, dan mudah bahagia ketika menerima nikmat. Dua perasaan ini pasti pernah dialami siapa pun, termasuk manusia paling bahagia dan sengsara di dunia ini. Mengekspresikan perasaan memang manusiawi tapi tak perlu dilakukan secara berlebihan.

Namun, masih banyak orang salah mengekspresikan kesedihan sehinsgga terkadang melakukan tindakan-tindakan tragis. Demikian juga sebaliknya, kebahagiaan yang dirayakan berlebihan berakhir kesedihan. Perlu kiranya meniru Abu Nawas dalam menyikapi kesedihan dan kebahagiaan sehingga tidak mudah tumbang dan terbang.

Abu Nawas sedih saat bahagia dan bahagia ketika sedih. Dengan demikian, kebahagiaan tidak dirayakan secara berlebihan karena sadar setelah itu akan datang kesedihan. Sebaliknya, ketika dilanda kesedihan tidak sibuk meratap karena yakin setelah itu akan datang kebahagiaan. Motivasi ini yang ditawarkan buku Bersedihlah Saat Hidupmu Begitu Jauh dari Allah untuk mengelola kesedihan menjadi energi positif.

Hal ini didasarkan pada kesedihan yang diiringi kesabaran akan membuat kita lebih dekat dengan Tuhan. Saat kita dekat mintalah sebanyak-banyaknya karena apa yang kita minta mudah dikabulkan. Kesedihan ibarat sebuah ujian dari Tuhan. Apabila lulus menjalaninya maka akan naik kelas.

Penganut pesimisme dan manusia yang meyakini ajaran habis sedih terbitlah bahagia (QS. As-Syarh [94]: 05), ketika dalam kondisi terpuruk akan berupa menciptakan perubahan, bukan larut dalam kubangan kesedihan. Semangat dibakar, pikiran diperas, dan tenaga dicurahkan demi masa depan yang lebih baik.

Kita bisa belajar hal ini dari kehidupan para tokoh seperti Soekarno, Muhammad Hatta, Gede Prama, Sri Bintang Pamungkas, dan Pipit Senja. Tanpa kesedihan barangkali mereka tak akan pernah menjadi figur publik. Mereka berhasil mengelola kesedihan menjadi energi positif. Penderitaan melahirkan semangat perubahan (hlm. 107).

Dalam lingkup lebih luas, kesedihan dan penderitaan rakyat Indonesia di bawah kolonialisme melahirkan semangat perlawanan. Perlawanan secara sungguh-sungguh sekalipun dengan senjata sederhana membuahkan hasil hengkangnya penjajah. Demikian juga dengan jatuhnya Soeharto setelah 32 tahun berkuasa di negeri ini.

Dalam konteks Islam, kesedihan melahirkan peradaban. Sebagaimana kita ketahui, penderitaan kaum muslimin di Makkah akibat ulah kaum kafir membuat mereka harus hijrah ke Madinah. Migrasi ini mengubah tatanan sosial. Peradaban bangsa Arab yang sebelumnya terbelakang, sejak saat itu mengalami titik balik menjadi bangsa modern (hlm. 148).

Oleh karena itu, tak perlu putus asa ketika bersedih. Rasulullah dan para sahabatnya cukup menjadi contoh. Seandainya mereka putus asa atas kesedihan-kesedihan yang dialami, mungkin kita tak akan pernah tahu Islam. Mereka menjadikan kesedihan sebagai energi perubahan.

Secara spesifik, Syafat Selamat menguraikan kesedihan bukan karena kemiskinan harta tapi kemiskinan spiritual. Ia menyerukan kita untuk bersedih saat hidup begitu jauh dari Tuhan, bukan hanya ketika ditimpa musibah.

Buku setebal 210 halaman ini mengingatkan kita sekaligus mengajak kita bersedih karena sudah terlalu sesat dari jalan yang benar. Penting dibaca di tengah orang-orang mencari kebahagiaan dengan membuat orang lain bersedih. Pada bagian terakhir dijabarkan kesedihan-kesedihan yang dialami Rasulullah dan empat khulafaur rasyidin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar