Selasa, 19 April 2016

Kontroversi Kerudung Cut Nyak Dien

Judul : Cut Nyak Dien: Sebuah Novel Epik Perang Aceh
Penulis : Sayf Muhammad Isa
Penerbit : Qanita
Terbitan : Pertama, April 2015
Tebal : 789 halaman
ISBN : 978-602-1637-65-4
Dimuat di: Kabar Madura, 7 April 2016

Gambar pejuang dari Aceh, Cut Nyak Dien, tanpa kerudung dalam mata uang rupiah pecahan 10.000 yang dikeluarkan pada tahun 1998 dan foto yang tersebar dalam buku-buku sejarah menuai kontroversi. Sebagian pihak menuding hal itu sebagai penyelewengan sejarah, karena dalam kesehariannya Cut Nyak Dien berkerudung.

Sebuah foto perempuan berkerudung sedang duduk di atas kursi dengan kedua tangan diletakkan di atas paha yang diklaim sebagai foto asli Cut Nyak Dien diunggah di internet untuk membuktikannya. Namun, dalam laman Koninklijk Instituut voor Taal Land'en Volkenhunde Universitas Leiden, Belanda, foto perempuan perkerudung itu dikatakan istri Panglima Polem dari Sigli, bukan Cut Nyak Dien (tribunnews.com).

Memang selama ini, tidak banyak cerita tentang Cut Nyak Dien kecuali hanya sepintas saja. Sayf Muhammad Isa tampaknya hendak mengakhiri kontroversi ini dengan menyingkap kehidupan sehari-hari dan perjuangan Cut Nyak Dien. Dalam Novel Cut Nyak Dien: Sebuah Novel Epik Perang Aceh, Cut Nyak Dien digambarkan sebagai perempuan taat agama yang selalu memakai kerudung.

Sayf Muhammad Isa menyebut dua kali Cut Nyak Dien berkerudung. Pertama, dalam persiapan perang. Dia digambarkan sangat gagah mengenakan baju zirah dengan persenjataan lengkap dan menutup kepala. Rencong terselip di perut dan bedil di punggungnya.

"... Dia memakai baju kurung panjang berwarna putih yang ujung-ujung celana panjangnya terlihat di mata kakinya. Rambutnya tertutup kain kerudung panjang yang dijepitkan dengan ulee ceumara (perhiasan rambut khas Aceh) di rambutnya." (hlm. 140)

Kedua, saat Cut Nyak Dien menerima kedatangan Pang La'ot dengan beberapa orang prajurit Aceh untuk memberikan kabar kematian suami yang kedua, yaitu Teuku Umar. Sebelum membuka pintu, Cut Nyak Dien terlebih dahulu memakai kerudung. "Cut Nyak Dien bergegas keluar setelah mengenakan kerudungnya dan memakai mantel panjangnya." (hlm. 761)

Selebihnya dari itu, dalam kesehariannya Cut Nyak Dien digambarkan sebagai sosok perempuan relegius, patuh pada orangtua, dan taat suami. Kemantapan imannya tidak hanya diekspresikan dengan rajin melaksanakan salat, berdoa, mengaji, dan berzikir, tapi juga mengangkat senjata membela negara. Cinta tanah air bagian dari iman.

Di mata Belanda, Cut Nyak Dien dianggap orang berbahaya. Hingga usia senjanya dengan kondisi buta dan rapuh, dia tetap keras dan pantang menyerah pada Belanda. Tetap gagah memegang rencong. Namun pada akhirnya tak berdaya ditangkap prajurit Belanda dan dibuang ke Sumedang hingga akhir hayatnya.

Cut Nyak Dien bersama Sultan Alaiddin Muhammad Daud Shah adalah orang yang ditangkap dan dibuang ke luar Aceh, bukan dibunuh seperti yang lain. Dua orang itu memang dilarang untuk dibunuh oleh pimpinan Belanda. Hal ini mengindikasikan, posisi Cut Nyak Dien oleh Belanda disejajarkan dengan sultan Aceh.

Namun, Sayf Muhammad Isa tak banyak mengeksplorasi perjuangan Cut Nyak Dien melawan Belanda, selain sebagai pasukan penembak di Kuta Pohama. Pada pertempuran di Muntassik, sekalipun Cut Nyak Dien ikut turun ke medan perang, namun sebelum menyerang menyingkir ke Keumala atas saran ayahnya.

Dalam novel setebal 789 halaman ini yang lebih banyak berperan menyusun strategi dan terjun ke medan perang adalah ayahnya, Teuku Nanta Setia, dan kedua suaminya. Cut Nyak Dien hanya terlibat membantu warga mengungsi dari satu tempat ke tempat lain. Kisah novel ini tak spesifik menarasikan pembelaan Cut Nyak Dien pada Aceh.

Cut Nyak Dien secara pribadi sosok romantis. Dalam suasana genting disela-sela mengawasi kedatangan Belanda di puncak menara Kuta Pohama, Cut Nyak Dien masih sempat melontarkan kata-kata romantis pada suami pertamanya, yaitu Ibrahim. Ketegangan di antara mereka pun mencair.

Ibrahim menyodorkan teropong kepada Cut Nyak Dien untuk melihat langsung bahwa pasukan Belanda belum terlihat di lautan, namun Cut Nyak Dien menggeleng sambil tersenyum bilang tak mau. ""Mengapa tak mau?" Ibrahim meneropong lautan lagi. "Sebab kau telah jadi mataku." Cut Nyak Dien menyentuh tangan Ibrahim yang menggenggam pagar menara pengawas." (hlm. 167)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar