Selasa, 14 Juni 2016

Keselamatan untuk Semua

Judul : Islam dan Keselamatan Penemuk Agama Lain
Penulis : Muhammad Hassan Khalil
Penerbit : Mizan (Bandung)
Terbitan : Pertama, April 2016
Tebal : 292 halaman
ISBN : 978-979-433-939-8
Dimuat di: Majalah Gatra, 8 Juni 2016

Tema keselamatan manusia setelah mati yang menyita perhatian ulama klasik tak pernah basi menjadi bahan diskusi hingga kini. Baru-baru ini, tulisan di jejaring sosial Dosen Ilmu Komunikasi UI Ade Armando bahwa tak logis kalau surga diperuntukkan bagi satu umat beragama saja menuai kontroversi. Respons yang muncul dapat dikelompokkan menjadi kontra (menolak), pro (menerima), dan di antara keduanya.

Pertama, eksklusivis menolak pendapat keselamatan pemeluk agama di luar Islam. Hanya tafsir keagamaan merekalah yang mampu memberikan keselamatan sehingga penganut kepercayaan lain akan berakhir di neraka. Paradigma tersebut dibagun atas dasar perintah memerangi ahli kitab (QS. 9: 29), mencela orang Yahudi yang memuja para nabi mereka sebagai tuhan (QS. 9: 30-31), Islam unggul di atas agama lain (QS. 9: 33, QS. 2:90-91, QS. 2: 106, QS. 5:3, QS. 3: 19, QS. 3: 85).

Kedua, pluralis mengakui keselamatan pemeluk agama non-muslim. Bagi mereka, ada banyak tradisi dan tafsir keagamaan yang mampu dan setara memberi keselamatan terhadap seluruh pemeluk agama. Hal ini didasarkan pada ayat bahwa Tuhan tidak pernah bermaksud menggiring manusia menjadi satu umat (QS. 5: 48), keselamatan bagi orang Yahudi dan Nasrani yang iman dan beramal baik (QS. 2: 62, QS. 5: 69).

Ketiga, di antara ekstrem kiri dan kanan ada inklusivis. Keyakinan mereka adalah jalan keselamatan (faiz) melalui Islam, namun umat lain yang tidak pernah terserap dakwah Islam akan memperoleh pengapunan (najah). Tuhan tidak akan mengazab manusia tak beriman sebelum diutus Rasul (QS. 17: 15).

Buku ini menyajikan pandangan inklusivis terkait keselamatan pemeluk agama lain dengan mengkaji pemikiran Al Ghazali, Ibnu Arabi, Ibnu Taimiyah, dan Rasyid Ridha. Sekalipun pandangan-pandangan Ibnu Arabi dalam banyak hal cenderung pluralis dan Ibnu Taimiyah cenderung eksklusif, namun dalam konteks ini mereka inklusif.

Al Ghazali mengelompokkan non-muslim dalam empat kategori. (1) mereka yang belum pernah mendengar Nabi, (2) mereka yang mengetahui karakter Nabi tapi ingkar terhadap risalah Islam, (3) mereka yang hanya mendengar hal-hal negatif tentang Nabi, (4) mereka yang aktif menggali lebih dalam tentang risalah Islam, meski sudah berjumpa dengan risalah yang benar namun tetap berada di luar Islam. Menurutnya, hanya kategori kedua yang dikutuk (baca: masuk neraka) [hlm. 62].

Namun, Ibnu Taimiyah hanya mengakui non-muslim kategori pertama yang akan mendapatkan pengampunan. Keselamatan non-muslim kategori keempat Al Ghazali tidak diakui Ibnu Taimiyah. Menurutnya, siapa saja yang berakal dari orang-orang yang telah terjangkau risalah namun tidak menerima, maka mereka telah menampakkan kekafiran dan layak berada di neraka (hlm. 134).

Sementara itu, Ibnu Arabi menyetarakan non-muslim tulus yang belum menerima "bukti nyata" kebenaran risalah Islam dengan muslim sejati, meskipun sebagian keyakinan mereka tidak sebangun dengan pesan Nabi, seperti dalam kasus Trinitas Nasrani. Menurutnya, Al Qur'an menyebut orang-orang kafir di kalangan penyembah berhala (pagan) dan Ahli Kitab mendapat laknat hanya setelah mereka menerima al-bayyinah (hlm. 103-104).

Rasyid Ridha mengatakan "agama sejati" adalah islâm (kepasrahan terhadap Tuhan), dan tidak secara khusus mengacu pada agama yang secara resmi disebut Islam. Oleh karena itu, non-muslim yang mampu meniti jalan risalah yang diemban Nabi, mereka layak dianggap muslim, meski mereka tidak menjadi orang Islam (hlm. 201-203).

Al Ghazali mengatakan azab non-muslim di neraka kekal. Sebab, tidak ada kebaikan yang bisa diharapkan lagi dari mereka setelah binasa. Sedangkan menurut Ibnu Arabi, neraka kekal, namun tidak demikian dengan azab yang ada di dalamnya. Ketika mereka sudah patuh dan tunduk kepada Tuhan secara sadar, maka neraka akan menjadi dingin seperti api yang menjilat Nabi Ibrahim.

Pandangan Ibnu Taimiyah lebih berani dari Ibnu Arabi dan keluar dari konsensus ulama. Menurutnya, neraka tidak kekal. Ketika azab terhadap kesesatan non-muslim sudah dirasa cukup, maka mereka akan diangkat dari neraka dan dipindah ke surga. Namun, pandangan Ibnu Taimiyah ini disangkal fansnya: Wahabi. Sementara komentar Rasyid Ridha terkait hal ini memilih berdiri di fonasi yang aman, yakni menyerahkan perkara itu kepada Allah.

Pemikiran tentang keselamatan liyan (the other) oleh empat ulama ini belum banyak diungkap penggemar-penggemarnya di Indonesia, padahal sangat penting sebagai landasan sikap rendah hati menilai iman sesama anak negeri yang plural ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar