Minggu, 28 Agustus 2016

Persembahan Hidup Sang Konglomerat

Judul : Dato' Sri Prof. DR. Tahir Living Sacrifice
Penulis : Alberthiene Endah
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Terbitan : Pertama, 2015
Tebal : 540 halaman
ISBN : 9786020311593
Harga : Rp. 178.000
Dimuat di: Suluh Madura, Agustus 2015

Prioritas ekonomi dan sosial menyatu dalam diri Dato' Sri Prof. DR. Tahir, salah satu konglomerat Indonesia yang memiliki perusahaan Mayapada Group. Denyut kehidupan sosial sama riuhnya dengan hiruk pikuk urusan bisnis. Namun demikian, ia tak mencapuradukkan manajemen bisnis dan sosial.

Prinsip Tahir dalam mengelola bisnis banyak tak logis jika diukur dari teori ekonomi yang dipelajari di perguruan tinggi, dan bertentangan dengan pandangan ahli ekonomi. Ia tak sependapat dengan pandangan ahli ekonomi Amerika, Milton Friedman, bahwa satu-satunya tanggung jawab sosial sebuah bisnis adalah meningkatkan keuntungan semata.

Keserakahan bermula dari orientasi bisnis yang salah ini. Sehingga, martabat dan kehormatan dilacurkan dan diinjak-injak oleh nafsu keserakahan diri. Akibatnya, ngemplang pajak, monopoli, suap, dan bermacam skandal dianggap hal biasa. Serakah tak mau berbagi merupakan sebentuk energi negatif bisnis.

Tahir resah pada sejumlah catatan miring di atas yang masih menjadi image konglomerat Indonesia. Sebagai salah satu konglomerat, ia berusaha memperbaiki citra konglomerat dengan komitmen tinggi pada martabat sekaligus ingin berguna bagi orang lain. Komitmennya tidak hanya berjalan lurus dengan memenuhi kewajiban membayar pajak dan taat regulasi, tapi lebih dari itu.

Menurut Tahir, profesi hanyalah prasarana menuju hidup lebih bermanfaat kepada banyak orang. Untuk bisa mencapai itu, manusia harus bisa membentuk diri menjadi orang yang "pemberi" dan senantiasa terdorong untuk membantu orang lain (hlm. 307). Keberanian memberi merupakan sikap yang akan mengubah dunia lebih baik.

Saat ini, memberi telah menjadi titik kebahagiaan hidup Tahir. Ia begitu ringan mengeluarkan uang Rp 2,3 triliun untuk donasi kesehatan dan memberikan beasiswa sebesar tiga juta dolar karena filantropi telah menjadi hiburan sekaligus pemuas batin. Bahkan, ia siap menyerahkan separuh kekayaan yang dimiliki untuk donasi karena dalamnya keyakinan akan timbal balik ketika membantu orang lain, sekalipun dirinya tak mengharapkan hal itu.

Baginya, semakin kita banyak memberi, semakin Tuhan percaya bahwa kita pantas untuk diberi. Semakin kita bisa menolong kaum yang lemah, semakin kuat hidup kita. Semakin kita bisa menyalurkan rezeki untuk menjadi berkat bagi orang lain, semakin kukuh hidup kita (hlm. 363).

Namun tak banyak konglomerat Indonesia yang berkeyakinan seperti ini, sehingga ngemplang pajak, monopoli, dan kongkalikong masih terjadi. Seandainya semua konglomerat berbuat seperti yang dilakukan Tahir tentu bangsa ini telah menjadi negara maju dan disegani negara-negara lain.

Budaya memberi, menurut Tahir, sangat dipengaruhi oleh filosofi kehidupan yang berlaku di sebuah negara. Dalam konteks cara pandang terhadap uang, ada budaya yang sangat kontras antara Timur dan Barat. Keduanya memiliki plus minum masing-masing.

Bangsa Timur lebih tertutup dan pekerja keras. Hidup mereka dibayangi oleh kecemasan atau tuntutan untuk memburu kesejahteraan, bukan hanya untuk mereka sendiri, tapi juga untuk anak, cucu, bahkan cicit bila perlu (hlm. 387). Pendek kata, mereka lebih memikirkan hari esok daripada hari ini sehingga cenderung pelit dan serakah.

Berbeda dengan bangsa Barat yang lebih terbuka pada keuangan. Mereka mencari kesenangan hidup hari ini tanpa memikirkan hari esok, sehingga tak pelit untuk berlibur dan berbagi pada orang lain. Orang Barat tak dipusingkan menyimpan banyak uang demi anak cucu mereka. Pendidikan mengajarkan kemandirian (hlm. 388).

Uniknya lagi, orang-orang Barat merasa uang yang mereka miliki adalah uang yang sudah dikeluarkan. Dan uang yang masih disimpan bukanlah uang milik mereka. Sementara orang Timur menganggap uang yang sudah habis dibelanjakan bukanlah uang miliknya. Uang milik mereka yang belum dikeluarkan.

Tahir menyerap sisi positif dua budaya tersebut. Dari kultur Timur menyerap budaya kerja keras dan hidup sederhana, sementara dari kultur Barat menyerap keihlasan berbagi dan sikap tidak diperbudak uang. Rahasia sukses Tahir dibentuk dari kolaborasi dua budaya ini: kerja keras, sederhana, dan ikhlas berderma.

Semangat berderma Tahir cermin kedalaman iman pribadi, keberhasilan pendidikan ibunya yang punya kebiasaan menyisihkan uang untuk orang lemah, sekalipun dirinya hidup dalam kubangan kemiskinan, dan trauma masa lalunya yang terjal dan berliku supaya tak terulang.

Buku Living Sacrifice adalah buku pertama yang secara utuh memotret kehidupan Tahir. Selama ini, ia menolak dorongan banyak pihak agar mau membukukan kisah hidupnya, karena suramnya kehidupan masa lalu. Sekalipun sudah bercahaya, ketika mengingat-ingat yang pedih di masa lalu hidupnya terasa berganti jadi redup.

Namun akhirnya Tahir harus mengikhlaskan masa lalunya diangkat kembali untuk menyebarkan semangat untuk maju ke sebanyak mungkin masyarakat Indonesia yang tengah dilanda kegalauan. Melalui biografinya, ia memotivasi pembaca untuk menjadi rakyat yang kuat, yang mampu membangun ekonomi Indonesia yang mantap. Secara implisit, Tahir hendak mengatakan bahwa bukan hanya dirinya yang bisa dan layak kaya jika mau. (MK)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar